Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. -Khalifah Ali bin Abi Talib-

Popular Posts

Rabu, 07 Maret 2012

Kesempatan itu... Semoga Alah memberikan II

Malam itu begitu dingin.
Padahal jendela sudah kututup rapat. Kipas angin juga sudah dalam keadaan "tak bernyawa".
Tapi tetap saja semuanya terasa begitu dingin.
Mungkin diluar sedang hujan?
Tidak tidak.. Diluar sangat cerah. Bahkan aku bisa mendengar suara tawa anak-anak kecil yang bermain diluar rumahku.
Atau mungkin sedang ada angin? Suhu sedang turun? Dan udara dingin itu menembus tebalnya tembok kamar ini?
Entahlah..
Tapi yang jelas semuanya begitu dingin.
Aku menerawang ke langit-langit. Putih kosong. Hanya seekor cicak yang ada disana.
Aku kembaliberpikir tentang keputusanku.
Aku baru akan benar-benar lulus satu tahun lagi. Tapi mengapa semua terasa akan terjadi sebentar lagi?
Aku terlalu rapi merancang semuanya. UI, UNDIP, dan UNSOED.
Tidak tidak.. Ibu tidak pernah menyetujuinya. Tidak pernah sejalan dengan pikiranku.
Ibu ingin aku jadi bidan dan bekerja di rumah sakit milik pak de Yunan.
Pak de ingin semua pekerja di rumah sakit miliknya adalah saudara. Dan namaku masuk dalam daftar calon pegawainya.
Tidak tidak.. aku tidak mau jadi pegawai sesungguhnya. Aku ingin membuka jalanku sendiri. Aku ingin melukis karirku di kertas pertama. Yang belum pernah ada orang lain sebelum aku.
Maka itu aku bersikeras bersekolah bukan pada bidang yang akan mempersiapkan ku untuk menjadi pegawai. Tidak lagi setelah kedua orangtuaku menjalaninya.
Mungkin nyaman, tapi bagiku tidak.
Aku suka ketika orangtuaku gajian. Aku suka gajian. Tapi aku lebih suka menggaji orang. Dan aku ingin melakukan itu suatu hari nanti.
Tetapi aku kembali berubah pikiran. Dasar plin plan.
Aku tidak mau mengecewakan ibu. Tidak juga dengan bapak.
Bapak tidak pernah berkata tidak pada setiap keputusanku termasuk ketika aku mengutarakan niat ingin bersekolah di UI. Tapi bapak juga tidak pernah meng-iya kan. Bahkan bisa dianggap tak merespon.
Aku positif thinking saat itu. Kuanggap bapak setuju.
Tapi kini aku tahu mereka tidak setuju.
Rumit ya? Maklum anak muda.
Aku terkejut mendapat respon yang luar biasa dari ibuku saat aku memutuskan untuk mondok di pesantren milik sahabat bapak. Beliau berkata,"Alhamdulillah tri, akhirnya kamu mau juga mondok,"
Nadanya... terdengar seperti sudah ingin mengatakan itu sejak lama. Itu adalah keinginan terpendam ibu selama aku bermimpi sekolah di UI.
Maafkan aku ibu..
Maafkan aku Ya Allah..
Begitupun bapak.
Beliau memang tak pernah berlebihan seperti ibu.
Tidak juga saat beliau merasa senang akan keputusanku.
Walau saat itu beliau hanya mengangkat alis dan seolah tak percaya beliau berkata,"beneran?". Aku tahu sebenarnya inilah yang diinginkan mereka.
Apa aku siap mondok?
Walau hanya satu tahun.
Tetapi kebiasaan aktif pergi sana - sini membuatku merasa sedikit berat dengan keputusan ini.
Aku takut pondok pesantren itu terbuat dari tembok-tembok tinggi yang menghalangi penglihatanku pada dunia luar.
Aku takut tempat itu memiliki satu kewajiban yang membuatku jadi penakut. Itu tentu sangat bertolak belakang dengan sifatku selama ini.
Jika itu terjadi, mungkin aku akan berontak. Menjadi kartini modern dalam pesantren.
Ah, ngelantur kan tuh.
Sampai aku mengetik ini, aku masih di kamar, dan cicak itu masih di atasku. Di atap kamarku tepatnya.
Dan aku masih bingung.
Mungkin PR matematika bisa meregangkan otakku dari kebingungan.
Mari belajar !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar