Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. -Khalifah Ali bin Abi Talib-

Popular Posts

Selasa, 20 Maret 2012

Aku Rindu Masa-Masa Itu

Aku rindu masa-masa itu. Masa saat aku masih baru di tempat ini dan kalian dengan ramah mengulurkan tangan kalian agar aku nyaman disini.
Aku rindu masa-masa itu. Masa ketika kalian tak bosan-bosannya mengirimiku sejuta pesan kehidupan yang aku sendiri tak pernah peduli bahkan tak jarang aku tidak membacanya.
Aku rindu masa-masa itu. Masa ketika kalian masih punya waktu untuk mendatangiku walau sekedar bertukar salam, menanyakan kabar, dan menyampaikan satu dua kalimat yang mengisi kekosongan jiwa ini. Membangkitkan semangat muda ini lagi.
Aku rindu masa-masa itu. Masa ketika kalian memarahiku dan menunjukkan kesalahanku. Kurasa itu lebih baik daripada kini. Ketika kalian tak pernah lagi muncul di hadapanku. Marahi saja aku, karena itu menunjukkan bahwa kalian masih peduli kepadaku.
Aku sangat rindu masa-masa itu. Masa ketika kalian berbagi cerita tentang ukhuwah, tentang amanah, tentang lelah, tentang semua yang kalian rasa disini, dan yang akan ku rasakan pula di tempat ini, nanti.
Aku rindu masa-masa itu. Masa ketika kalian bercanda ria di jejaring sosial, dan aku hanya tersenyum-senyum membacanya. Walau aku tak ada di tengah tawa kalian, percayalah... ukhuwah kalian sangat kurasakan disini.
Aku sangat merindukan masa-masa itu. Ketika aku mencari tahu tentang kalian, karena aku ingin tahu lebih banyak tentang pribadi kalian. Ketika aku tahu betapa hebatnya kalian, dari foto-foto itu, dari tulisan-tulisan itu. Aku merasakan sebuah transfer energi yang sangat besar sedang terjadi dari dirimu kepadaku.
Aku rindu masa-masa itu. Ketika kalian datang dengan senyuman. Bukan dengan setumpuk kertas dan segudang kesibukan.
Aku masih rindu masa-masa itu. Ketika kalian mengirimiku pesan tausyiah, bukan pesan perintah!
Aku disini bukan untuk menjadi penyebar berita. Bukan!
Aku disini juga bukan hanya untuk membuat acara. Bukan itu!
Aku disini ingin belajar sebelum mengajar. Aku ingin menjadi objek dakwah sebelum berdakwah. Aku ingin mendengarkan kalimat semangat dari kalian sebelum aku menyemangati yang lain.
Tolong jangan biarkan kami kering.
Jangan biarkan saudaraku jatuh satu persatu.
Aku sadar kami harus sendiri. Kami harus mandiri.
Tapi apa itu berarti tak ada lagi perhatian dari kalian? Pikirkan!
Tak banyak yang kuat hatinya. Tak banyak yang sanggup diperlakukan seperti ini berlama-lama. Jati pun ketika dibiarkan ratusan tahun lamanya akan keropos juga.
Ku harap kalian tidak terlambat. Bantu aku untuk mengembalikan saudaraku. Saudara kita. Bantu aku kak.
Siapapun kalian yang merasa, ini bukan sekedar tulisan. Tapi ini adalah pengaduan dari kami. Anak-anak yang telah kalian culik, lalu kalian tinggalkan!
readmore »»  

Minggu, 11 Maret 2012

Jangan jadi Orang Cengeng

Banyak orang selalu bertanya begini
gimana sih caranya bisa tahan nangis?
Ribet ye tu orang. Mau nangis aja pake ditahan-tahan.
Nangis itu bukan aib lagi. Bukan kejahatan yang bikin sekeluarga malu juga. Bukan juga dosa besar yang bikin kamu masuk neraka.
Nangis itu fitrah.
Setiap orang pasti punya kelenjar air mata, kan? Ya, kecuali yang kurang sempurna.
Sekarang saya nggak membicarakan orang yang memang dari lahir nggak punya kelenjar air mata ya, soalnya saya bukan pakar biologi. hehe
Ya, sekali lagi. menangis itu fitrah. Dan itu boleh-boleh saja.
Jangan pernah mendambakan untuk tidak bisa menangis. Pasti akan sangat menyusahkan.
Sekarang gini deh, saya mau jawab pertanyaan temen saya itu dulu ya. Gimana caranya biar bisa tahan nangis?
Menurut saya pribadi, menangis itu nggak perlu ditahan. Tapi bukan berarti dibiarin gitu aja. Dikit-dikit nangis. Diomelin nangis. Dikatain nangis. Disorakin nangis. Dipanggil tiba-tiba nangis. Dikagetin nangis. Yaelah, nggak selebay itu juga kali.
Nih ya, menurut saya menangis itu menandakan kita sudah tidak kuat. Menangis itu puncak segala kesusahan, kesedihan, kesulitan, dan ke ke yang lainnya yang serba susah.
Untuk itu, yang harus dilatih bukan gimana caranya nahan nangis. Tapi, gimana caranya tahan banting. Tahan mental. Tahan malu. Biar nggak  gampang nangis.
Nah, gimana caranya biar nggak gampang nangis?
1. tahan mental. Seperti yang udah saya bilang, tahan mental itu berperan besar dalam proses produksi air mata. Kalau mental kita kecil, setempe, dan nggak pernah menemui kesusahan seumur-umur, bisa jadi kita akan mudah menangis. Kenapa? Ya karena kita nggak biasa menghadapi sesuatu yang WAW! Maksudnya yang WAW! itu yang amazing dan beda dengan kehidupan kita yang biasannya. Sesuatu yang lebih menantang. Tapi kalau mental kita kuat, sering dilatih, dan sering ketemu sama yang namanya "masalah" dalam hidup, saya yakin kita bukan termasuk orang yang cengeng alias gampang mewek!

2. Jangan lebay dan menDRAMAtisir keadaan. Orang cuma dipanggil sama guru keturunan batak aja langsung nangis. Dikiranya lagi dibentak. Padahal kan orang batak emang suaranya tinggi. Lebe!
Disuruh fotokopi beberapa proposal, ternyata tempat fotokopinya tutup dan harus nyari muter-muter komplek sampai kaki pegel, langsung nulis status "kaki pegel. kapan putusnya nih?!" Lebe!
 Disuruh lembur sampai jam lima sore aja besoknya langsung nggak masuk. Bilangnya langsung sakit dan dengan bangganya bilang ke temen-temen kalo kemaren abis ribet ngurus ini, itu, ono, ntu, apaan sih? Lebe banget!

3. Kalau masih bisa ditahan, TAHAN! Jangan pernah ngerasa ingin dikasihani. Minta dapet simpati. Dan bikin orang-orang tahu semua keluh kesah kamu. Nggak penting tahu! Kalau masih bisa ditahan tu air mata, tahan! Simpan buat nanti. Curhatnya sama yang bisa jaga rahasia. Nangisnya juga di depan yang bisa jaga rahasia aja. Siapa? Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

4. Hadapi dengan kepala dingin. Kalau ada masalah, apapun itu yang kira-kira emang nyusahin, jangan gegabah ya. Jangan langsung bilang yes or no. Pikirkan pakai kepala dingin. Atur napas biar teratur. Napas yang teratur itu bikin koordinasi di otak berjalan baik. Dengan begitu, kamu akan fokus untuk MENYELESAIKAN masalahmu, bukannya MENANGISI masalahmua.

Menurut saya sih itu aja yang bisa bikin kita nggak gampang nangis. Ini opini ya. Jadi tiap orang pasti beda-beda caranya. Nah, jangan terlalu diikutin ya. Jangan terlalu percaya sama kata-kata saya diatas. Nanti jadi thagut. Apaan tuh? Apa kek lah. Hehe.. cari aja di google.
Kalo ada opini yang bilang "sering nangis itu baik dan unyu" juga nggak apa-apa kok ^^ sekali lagi, ini berdasarkan perspektif pribadi aja. Okeh!
Jangan jadi orang cengeng yaaa ! ^^
readmore »»  

Kamis, 08 Maret 2012

Papa, Mama, Rio Tunggu Di Pintu Surga

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.”

***

Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan, “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.

Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak.

Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa.”

“Papah, hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya,” lanjutnya.

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono.

“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu ‘bisikan’ kedua terdengar, bahwa setelah adzan Maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan Maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”

Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio

Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah.

Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?”

“Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat Agnes tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap, “Astaghfirullah…”

Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono.

“Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih.

Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam

Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat.

Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.

Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

Muhammad Yasin
source: fimadani
readmore »»  

Rabu, 07 Maret 2012

Kalau tidak Ingat...

Semuanya serba terbatas.
Badan ini semakin sakit dibuatnya.
Mereka menuntut kesempurnaan.
Tapi mereka sama sekali tak pernah mengarahkan.
Yang ada hanya cacian.
Yang selalu kami tanggapi dengan baik sangkaan.
Bahwa itu adalah masukan. Dan bukan cacian.
Semakin lama semakin banyak tuntutan.
Aku tahu ini bukan dibebankan pada satu orang, tapi aku juga tahu hanya ada sedikit orang yang merasa terbebankan.
Yang lain hanya akan berjalan sesuai permintaan atau perintah atasan.
Inisiatif?
Jangan tanyakan itu di tempat kami.
Yang memilikinya hanya sekelompok kecil dari sebuah komunitas besar.
Jumlah kami besar, dan berbeda dari komunitas lainnya.
Tidak percaya?
Ya, jangan terlalu percaya pada setiap omongan saya karna rukun iman bisa bertambah jadi tujuh nantinya.
Yang jelas kami banyak. Dan saya hanya menginformasikannya.
Tuntutan kami bukan hanya dari mereka. Orang-orang tua yang berseragam itu.
Tuntutan kami juga diberikan oleh sosok laki-laki dan perempuan paruh baya yang tinggal setap dengan kami.
Ayah, ibu.
Dan tuntutan terbesar adalah masa depan.
Rutinitas ini, entah akan mencerahkan atau justru meredupkannya.
Terlalu sibuk mungkin.
Aku hanya punya sekian jam untuk beristirahat.
Tidur hampir tedengar seperti maya dalam dunia ini.
Tak pernah terasa nyaman.
Kalau tidak ingat suatu hari nanti aku juga akan tidur selamanya, mungkin aku tidak akan bisa menerima waktu tidurku yang sangat singkat sekarang ini.
Kalau tidak ingat akan ada hari dimana matahari hanya berada sejengkal diatas kepala, mungkin aku sudah malas melakukan segala aktivitas di siang hari yang menyengat.
Kalau tidak ingat masa mudaku akan habis beberapa tahun kedepan, mungkin aku sudah menikmatinya seperti pemuda kebanyakan. Belajar, les, nonton film baru, hang out, nongkrong di kafe, atau sekedar warung biasa, dan menikmati musik di setiap kesempatan.
Aku tidak mau itu terjadi. Sia-sia.
Biar saja badanku sakit, otakku penat, dan semuanya terasa parah. Yang penting aku akan tunjukkan pada orang-orang itu kalau aku bisa. Kami bisa berorganisasi. Tanpa mengurangi nilai pelajaran kami!
readmore »»  

Kesempatan itu... Semoga Alah memberikan II

Malam itu begitu dingin.
Padahal jendela sudah kututup rapat. Kipas angin juga sudah dalam keadaan "tak bernyawa".
Tapi tetap saja semuanya terasa begitu dingin.
Mungkin diluar sedang hujan?
Tidak tidak.. Diluar sangat cerah. Bahkan aku bisa mendengar suara tawa anak-anak kecil yang bermain diluar rumahku.
Atau mungkin sedang ada angin? Suhu sedang turun? Dan udara dingin itu menembus tebalnya tembok kamar ini?
Entahlah..
Tapi yang jelas semuanya begitu dingin.
Aku menerawang ke langit-langit. Putih kosong. Hanya seekor cicak yang ada disana.
Aku kembaliberpikir tentang keputusanku.
Aku baru akan benar-benar lulus satu tahun lagi. Tapi mengapa semua terasa akan terjadi sebentar lagi?
Aku terlalu rapi merancang semuanya. UI, UNDIP, dan UNSOED.
Tidak tidak.. Ibu tidak pernah menyetujuinya. Tidak pernah sejalan dengan pikiranku.
Ibu ingin aku jadi bidan dan bekerja di rumah sakit milik pak de Yunan.
Pak de ingin semua pekerja di rumah sakit miliknya adalah saudara. Dan namaku masuk dalam daftar calon pegawainya.
Tidak tidak.. aku tidak mau jadi pegawai sesungguhnya. Aku ingin membuka jalanku sendiri. Aku ingin melukis karirku di kertas pertama. Yang belum pernah ada orang lain sebelum aku.
Maka itu aku bersikeras bersekolah bukan pada bidang yang akan mempersiapkan ku untuk menjadi pegawai. Tidak lagi setelah kedua orangtuaku menjalaninya.
Mungkin nyaman, tapi bagiku tidak.
Aku suka ketika orangtuaku gajian. Aku suka gajian. Tapi aku lebih suka menggaji orang. Dan aku ingin melakukan itu suatu hari nanti.
Tetapi aku kembali berubah pikiran. Dasar plin plan.
Aku tidak mau mengecewakan ibu. Tidak juga dengan bapak.
Bapak tidak pernah berkata tidak pada setiap keputusanku termasuk ketika aku mengutarakan niat ingin bersekolah di UI. Tapi bapak juga tidak pernah meng-iya kan. Bahkan bisa dianggap tak merespon.
Aku positif thinking saat itu. Kuanggap bapak setuju.
Tapi kini aku tahu mereka tidak setuju.
Rumit ya? Maklum anak muda.
Aku terkejut mendapat respon yang luar biasa dari ibuku saat aku memutuskan untuk mondok di pesantren milik sahabat bapak. Beliau berkata,"Alhamdulillah tri, akhirnya kamu mau juga mondok,"
Nadanya... terdengar seperti sudah ingin mengatakan itu sejak lama. Itu adalah keinginan terpendam ibu selama aku bermimpi sekolah di UI.
Maafkan aku ibu..
Maafkan aku Ya Allah..
Begitupun bapak.
Beliau memang tak pernah berlebihan seperti ibu.
Tidak juga saat beliau merasa senang akan keputusanku.
Walau saat itu beliau hanya mengangkat alis dan seolah tak percaya beliau berkata,"beneran?". Aku tahu sebenarnya inilah yang diinginkan mereka.
Apa aku siap mondok?
Walau hanya satu tahun.
Tetapi kebiasaan aktif pergi sana - sini membuatku merasa sedikit berat dengan keputusan ini.
Aku takut pondok pesantren itu terbuat dari tembok-tembok tinggi yang menghalangi penglihatanku pada dunia luar.
Aku takut tempat itu memiliki satu kewajiban yang membuatku jadi penakut. Itu tentu sangat bertolak belakang dengan sifatku selama ini.
Jika itu terjadi, mungkin aku akan berontak. Menjadi kartini modern dalam pesantren.
Ah, ngelantur kan tuh.
Sampai aku mengetik ini, aku masih di kamar, dan cicak itu masih di atasku. Di atap kamarku tepatnya.
Dan aku masih bingung.
Mungkin PR matematika bisa meregangkan otakku dari kebingungan.
Mari belajar !
readmore »»  

Selasa, 06 Maret 2012

Kesempatan itu... Semoga Alah memberikan.

Terkadang saat kita berpikir untuk menggapai sesuatu, itu bukan apa yang sesungguhnya kita inginkan.
Setelah mengevaluasi diri, melihat ke belakang sejenak. dan mengurutkan kejadian yang terjadi beberapa bulan ke belakang, aku menyadari bahwa ambisiku menjadi pelajar di Universitas Indonesia bukanlah keinginanku.
Bahwa selama ini aku membohongi diri sendiri. Dengan kedok cita-cita, aku tahu apa sebenarnya yang membuatku ingin sekali bersekolah disana.
Aku memutuskan untuk tidak kesana.
Ibuku mendukung. Ternyata selama ini beliau pun membohongiku dengan berpura-pura mendukungku memasang target bersekolah di universitas indonesia.
Beliau keberatan.
Maafkan aku ibu.. karena tidak peka terhadapmu..
Maafkan aku Ya Allah..
Aku memutuskan untuk menghadapi apa yang ada di hadapanku saja
Tidak memasang target kemanapun setelah lulus nanti
Tidak ke universitas manapun yang selama ini memenuhi otakku
Aku akan fokus pada sekolah. SMA.
Tiba-tiba, Tawaran itu, yang dua tahun lalu datang padaku kembali hadir dalam ingatan.
Bahwa ada seorang kyai-beliau sahabat bapak- yang datang ke rumah untuk silaturrahim dan menawariku mondok di pesantrennya
Jauh di utara pulau jawa. Pati.
Aku menolak. Idealisme ku terlalu tinggi saat itu. Aku tak ingin dikekang dengan peraturan pesantren yang (biasanya) ketat.
Aku tidak suka diatur.
Tapi kini aku ingin pergi kesana. Aku ingin mondok.
Ibuku mendukung sekali. Bapak apalagi.
Mungkin setelah aku lulus nanti.
Aku akan mondok disana.
Tapi aku tahu kyai itu bukan lagi sahabat bapak sesama anak pribumi yang mencari ilmu di Indonesia saja.
Aku tahu beliau lebih dari itu semua.
Satu yang kuharapkan dengan mondok disana nantinya. Aku ingin fasih membaca Al-Qur'an dan mendalaminya. Mentadaburinya. Belajar tentang islam. Mencari pondasi yan kokoh untuk berdakwah. Dan aku ingin fasih bahasa arab. Tentu orangtuaku tau apa yang ada dalam pikiranku. Sutu hal yang sedari dulu memang sangat aku inginkan.
Aku ingin pergi kesana. Dan kurasa, pondok pesantern itu adalah gerbang untuk menuju ke sana.
Bapakku yang akan mengurusnya.
Berbicara pada sahabatnya. Semoga Allah memudahkan.
readmore »»