Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. -Khalifah Ali bin Abi Talib-

Popular Posts

Jumat, 29 Juni 2012

Sepenggal Kisah di Sore Hari



Bel berbunyi tepat pukul 14.45.
It's time to go home, ujar banyak anak di kelas. Mereka sudah siap dengan tentengan dan tas nya masing-masing. Ada yang langsung pulang, ada juga yang langsung menuju tempat perkumpulan ekskul masing-masing.
   "Tumben lu langsung balik? Bukannya hari ini basket latihan ya?"tanya seorang temanku pada seorang yang lainnya. "Besok ulangan mas bro. Biologi. Lupa lu?"jawaban yang mengingatkan. Bagus. Aku jadi getir rasanya sekarang.
   "Ayo Far,"ajak temanku yang sudah siap dengan bawaannya. Aku menoleh sebentar. Rasa ragu itu tiba-tiba muncul.
Sore ini aku ada agenda untuk rapat bersama sebuah organisasi yang aku ikuti. Agenda mendadak. Kami akan membicarakan seputar dakwah yang kami lakukan di kota kami. Ada acara baru. Program baru. Dan sistem baru. Sepulang sekolah. Di tempat yang yah... lumayan jauh untuk anak sekolah.
Biologi. Bagaimana bentuk soalnya besok? Essay? Atau isian singkat? Atau justru Pilihan Ganda? Yang terakhir itu memiliki sangat sedikit kemungkinan tentunya.
Kami memutuskan untuk langsung berangkat dan sholat ashar di masjid A saja. Disini, ashar tiba pada jam 15.15 atau lebih. Dan kami masih punya waktu hampir setengah jam untuk mencicil lamanya waktu dalam perjalanan yang bisa mencapai 1 jam bahkan lebih.
Kami pun berangkat. Berdua.
Kucoba hilangkan sejenak pikiranku tentang biologi. Everythings gonna be ok, Girl, hiburku pada diri sendiri.
Kami menaiki sebuah angkutan warna biru yang lengang. Kopami. Dan kami dapat tempat duduk untungnya.
Aku mencoba membuka buku paket biologi dan membacanya sepanjang jalan. Walaupun tidak ada yang menyangkut di otakku, tetap kupaksakan untuk membacanya.
Sebuah kutipan ayat Al-Qur'an berdenging di telingaku. 'Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu' ayat itu menenangkanku.
Tak disangka, macet melanda. Padahal ini bukan seharusnya jam macet di arah jalan yang kesini. Oh my God. Lama sekali. Hampir satu jam. Seharusnya sekarang kami sudah sampai. Pukul 16.05 di jam tanganku.
Dan bagusnya, rapat dimulai jam 16.00 berdasarkan jam normal. Bukan jam karet. Entah akan berubag menjadi angka berapa jika kita gunakan jam elastis itu.
Good. 17.05 kami tiba. Mungkin saat kami bilang "Assalamu'alaikum", seseorang dibalik hijab sana sudah mengatakan "Wassalamu'alaikum". Entahlah.
Kami tiba dan ternyata rapat belum dimulai. Wow. Ternyata mereka benar-benar menggunakan jam karet. Hahaha..
18.00. Adzan maghrib terdengar. Kami melaksanakan sholat maghrib disana. Dengan seragam lengkap. Bagus. Lima menit yang lalu sang pemimpin rapat baru datang. Mau pulang jam berapa? pikirku kesal.
Setelah usai sholat, kami melaksanankan rapat. Pukul18.45 rapat singkat itu usai dan kami pulang ke rumah masing-masing.
Aku dan temanku mengantre trans jakarta di halte Senen yang subhanallah, padat sekali. Bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Sekalinya ada, pasti penuh. Dan dari puluhan orang yang mengantre disini hanya ada dua tiga orang yang bisa masuk. Masya Allah.
Benar saja. Jarum jem menunjukkan pukul 8 lewat. Para penumpang yang mengantre sudah ada yang keluar halte sangking lamanya. Dan yang tersisa tinggal beberapa. Kabar baik. Sebuah bus yang agak kosong datang. Kami bisa masuk sekarang. Kabar buruk. Handphone ku lowbet. Mati. Begitupun dengan temanku. Itu artinya kami tidak bisa menghubungi orangtua kami dirumah. Perutku tiba-tiba sakit.
***
Aku turun di halte taman kota pukul 9 malam. Tiba-tiba terbayang olehku wajah bapak dan ibu yang sedang marah-marah. Dan wajah pak Mar, guru biologiku. Aha! Biologi! Aku belum belajar. Tetapi badan ini pegal sekali rasanya. Capek.
Aku melewati jalanan yang sudah sangat sepi. Orang-orang sudah bersarang dirumahnya masing-masing. Anak sekolah yang masih berkeliaran di malam hari, mungkin itu pikiran beberapa bapak-bapak yang melihatku berjalan sendirian dengan seragam putih abu-abu lengkap. Huft!
Aku membuka pintu rumah. Dan tepat seperti dugaanku, bapak sudah menelepon teman-teman sekolahku yang lain untuk menanyakan keberadaanku. Aku dimarahi habis-habisan. Tapi bukan itu yang aku permasalahkan. Melainkan ulangan biologi esok hari.
Mataku berat. Setelah sholat isya, aku tertidur dengan masih mengenakan mukenah. 
***
   "Soal nya kayak wahyu Tuhan!"seru seorang temanku seusai ulangan, "soal apaan tuh? gue udah belajar abis-abisan kemaren, tetep aja nge blang!"lanjutnya. Aku nyengir. "Apalagi gue yang mati sebelum belajar?"pikirku.
***
Nilai ulangan dibagikan. Aku tak berano melihatnya. Segera saja kumasukkan kertas hasil ulangan yang sudah diwarnai tinta merah itu ke dalam tas. Sangat tidak memuaskan. Yah. Akhirnya aku beranikan diri membuka nilai itu. Merah. Merah hati. Atau mungkin bahkan merah marun. Merah tua. Sangat jeblok, anjlok, tak tersisa. -_-
Aku menyabarkan diri. Lalu mulai menghibur diri sendiri. Hiburan palsu. Belum pernah aku mendapat angka ini selama sejarah kehidupan sekolahku. Sungguh terlalu.
Sejenak aku berpikir, dan ayat Al-Qur'an itu terngiang lagi. Salah satu hati kecilku berteriak memaki
"Ah boong! Ayat itu bohong! Gue udah bela-belain capek buat ngurusin dakwah, tapi kenapa Allah nggak bantu gue? Mana janji-Mu?"
Tapi hati ku yang lebih kecil lagi juga berkata
"Emang salah gue. Gue yang nggak maksimal belajar. Harusnya gue bisa lebih prioritasin mana yang perlu dilakuin dan mana yang enggak. Ini bukan salah Allah. Karena Allah nggak pernah salah. Pasti ada hikmahnya. Ya kan paling nggak lo bisa introspeksi diri lagi buat kedepannya. Ini pengalaman. INGET, PENGALAMAN ITU GURU TERBAIK!"
Tiba-tiba sakit perutku muncul lagi
***
Hari itu aku sedang duduk diam di kelas. Merenung. Pelajaran agama kali ini sepertinya akan ngaret karena gurunya tak kunjung datang. 
   "Far, dicari anak kelas sepuluh tuh,"ujar salah seorang temanku.
Itu Ummah. Adik kelasku.
   "Kenapa Mah?"tanyaku.
   "Kakak, ka Syafwa, sama ka Iffah dipanggil Bu Dwi,"ujarnya. Kami bertiga segera turun dan menemui ibu guru yang sudah beberapa bulan ini membimbing kami untuk olimpiade kebumian.
   "Fara, Syafwa, Iffah, dan Ummah,"ujarnya dengan sedikit bumbu dramatis yang menggelikan, "Selamat, kalian lolos ke tingkat provinsi,"lanjutnya. Hah?
Hey, aku tidak serius mengikuti ajang lomba ini. Aku hanya main-main. Mengerjakan soalnya saja aku tidak sepenuh hati. Bagaimana bisa?
   "Nanti habis dari Jogja,kalian pembinaan selama delapan hari di SMA 1 ya, berjuang ya nak. pokoknya minimal kalian harus lolos ke provinsi tahap 2 dulu, ok?"
Pagi itu, aku tidak begitu suprise dengan berita kelolosan kami. Biasa saja. Tetapi, Allah Maha Mengetahui.
Kini, aku Syafwa, dan Iffah sedang menunggu kelolosan kami ke tahap Nasional. Semua yang telah ku lakukan, ternyata dibalas setimpal oleh-Nya.
Aku yang dulu tak bergairah dengan kebmian, kini justru sangat mendamba-dambakan menjadi ahli geologi Indonesia.
Dan soal nilai biologi itu, aku teringat ucapan seorang kakak kelas
"Allah Maha Mendengar. Maka, berdoalah pada-Nya. Allah pasti akan mengabulkan do'a kita. Tetapi, ada tiga kemungkinan yang Dia bisa lakukan. Pertama, do'a mu akan langsung terkabul saat itu juga dan sesuai dengan yang kau minta. Kedua, Allah akan mengabulkan sesuai dengan keinginanmu tetapi tidak saat itu juga. Dan ketiga, Allah akan mengabulkan do'a mu tetapi tidak sesuai dengan yang kau inginkan, melainkan akan diganti dengan yang lebih baik. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Jadi, jangan malas berdo'a ya,"
***
Ya. Aku telah berusaha menolong agama Allah bahkan sampai rela pulang sedemikian larut dan terkena amarah dari orangtua. Nilaiku juga jeblok karena itu. Tetapi Allah juga menolongku. Dengan pertolongan lain yang jauh lebih indah ^_^
Walau begitu, aku belajar dua hal dari kejadian waktu itu. Prioritas dan Bersungguh-sungguh. Aku harus melakukan keduanya jika memang ingin cita-citaku tercapai. Disamping selalu berdo'a kepada Allah tentunya ^_^.

2 komentar:

  1. sejak kapan gue jadi Iffah?
    kebumian luka lama yang akn tertutup sebentar lagi dengan pretasi gemilang

    BalasHapus
    Balasan
    1. wekekek... kebumian bukan luka. ia cuma goresan pensil dan pola. yang selanjutnya akan ditebalkan dengan spidol permanen yang nggak akan hilang sampai kita tua. (wedeee...gibran!)

      Hapus